Resistensi atau kepekaan terhadap mastitis pada sapi, kambing atau domba bersifat menurun. Gen- gen yang menurun akan menentukan ukuran dan struktur puting (Swartz, et al., 2006)
Sori et al (2005) menyatakan bahwa saat periode kering adalah saat awal kuman penyebab mastitis menginfeksi, karena pada saat itu terjadi hambatan aksi fagositosis dari neutrofil pada ambing.
Dinyatakan lebih lanjut oleh Akoso (1996), bahwa berbagai jenis bakteri telah diketahui sebagai agen penyebab penyakit mastitis, antara lain : Streptococcus agalactiae, Str. Disgalactiae, Str. Uberis, Str.zooepidemicus, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Enterobacter aerogenees dan Pseudomonas aeroginosa. Ditambahkan oleh Swartz (2006) bahwa yeast dan fungi juga sering menginfeksi ambing, namun biasanya menyebabkan mastitis subklinis.
Hasil penelitian di Ethiopia oleh Sori et al (2005) menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan susu dengan metode CMTdari 180 ekor sapi perah lokal Zebu dan persilangan, prevalensi mastitis mencapai 52,78%, dengan 47 ekor (16,11%) merupakan mastitis klinis dan 87 ekor (36,67%), merupakan mastitis subklinis.
Staphylococcus aureus merupakan salah satu penyebab utama mastitis pada sapi perah yang menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar akibat turunnya produksi susu (Salasia dkk., 2005).
Disamping faktor –faktor mikroorganisme yang meliputi berbagai jenis, jumlah dan virulensinya, faktor ternak dan lingkungannya juga menentukan mudah tidaknya terjadi radang ambing dalam suatu peternakan. Faktor predisposisi radang ambing dilihat dari segi ternak, meliputi : bentuk ambing, misalnya ambing yang sangat menggantung, atau ambing dengan lubang puting terlalu lebar (Subronto, 2003).
Bentuk puting, ada dan tidaknya lesi pada puting mempengaruhi kejadian mastitis. Hasil penelitian Sori et al (2005) menunjukkan bahwa prevalensi mastitis pada puting pendulous mencapai 77,78%, sedangkan pada puting non pendulous mencapai 50%. Puting yang lesi memungkinkan prevalensi mastitis sebesar 84%, sedangkan pada puting normal sebesar 47,74%.
Letak kuartir juga mempengaruhi kejadian mastitis. Kuartir kiri, belakang dan kanan, depan lebih sering mengalami mastitis daripada kedua puting lainnya. Pada kiri belakang, mastitis mencapai 34,3%, sedangkan kanan, depan mencapai 30,06% (Sori et al., 2005)
Faktor umur dan tingkat produksi susu sapi juga mempengaruhi kejadian mastitis. Semakin tua umur sapi dan semakin tinggi produksi susu, maka semakin mengendur pula spinchter putingnya. Puting dengan spincter yang kendor memungkinkan sapi mudah terinfekesi oleh mikroorganisme, karena fungsi spinchter adalah menahan infeksi mikroorganisme. Semakin tinggi produksi susu seekor sapi betina, maka semakin lama waktu yang diperlukan spinchter untuk menutup sempurna (Subronto, 2003).
Faktor bangsa sapi bisa mempengaruhi kejadian mastitis. Dilaporkan oleh Sori et al ( 2005), bahwa kejadian mastitis pada sapi persilangan (Crossbreed) lebih besar dari pada sapi lokal.
Faktor lingkungan dan pengelolaan peternakan yang banyak mempengaruhi terjadinya radang ambing meliputi : pakan, perkandangan, banyaknya sapi dalam satu kandang, ventilasi, sanitasi kandang dan cara pemerahan susu. Pada ventilasi jelek, mastitis mencapai 87,5%, ventilasi yang baik mencapai 49,39% (Sori et al., 2005).
Staphylococcus aureus
Brooks (2005), menyatakan bahwa Staphylococcus adalah bakteri gram positif, bentuk kokus dengan susunan berpasangan atau bergerombol, seperti anggur. Bersifat aerobik atau anaerobik fakultatif, katalase positif, oksidase negatif, bersifat non motil, tidak membentuk spora. Staphylococcus tumbuh dengan cepat pada beberapa tipe media dan aktif melakukan metabolisme serta melakukan fermentasi karbohidrat. Staphylococcus menghasilkan bermacam-macam pigmen, dari warna putih hingga kuning gelap.
Staphylococcus aureus mayoritas ditemukan di berbagai tempat pada tubuh ternak, antara lain : kelenjar mammae yang terinfeksi, saluran puting, lesi-lesi pada puting, kulit puting, vagina, cekung hidung dan moncong. Pada kulit puting yang sehat, tidak ditemukan bakteri ini, tetapi bakteri ini mudah masuk ke saluran puting lewat luka dekat puting. Organisme ini bermultiplikasi pada lesi-lesi, berkolonisasi dalam saluran puting dan memasuki kelenjar mammae (Jones, 1998).
Staphylococcus aureus merupakan bakteri penyebab utama mastitis pada sapi dan kejadian mastitis sering diasosiasikan dengan infeksi S. aureus. Bakteri ini sering menyebabkan mastitis subklinis dan kronis. Diantara 56 ekor sapi perah di peternakan sapi perah Baturaden, 41 ekor (73,2%) menderita mastitis subklinis dan 9,1 % diantaranya disebabkan oleh S. aureus (Salasia dkk., 2005). Ditambahkan oleh Wahyuni dkk (2005), bahwa kejadian mastitis subklinis di Indonesia sangat tinggi, yaitu sebesar 95-98% dan banyak menimbulkan kerugian.
Staphylococcus yang patogen sering menghemolisis darah, mengkoagulasi plasma dan menghasilkan berbagai enzim ekstraseluler dan toksin. Staphylococcus cepat menjadi resisten terhadap beberapa antimikroba dan hal ini merupakan masalah besar pada terapi (Brooks, 2005).
No comments:
Post a Comment