Saturday, April 2, 2011

AIR SUSU INDUK BERACUN/MASTITIS


Pengertian Mastitis
Mastitis didefinisikan sebagai peradangan pada jaringan internal kelenjar ambing. Penyakit ini umum terjadi pada peternakan sapi perah di seluruh dunia (Duval 1997). Peradangan dapat terjadi pada satu kelenjar atau lebih dan mudah dikenali apabila pada kelenjar susu menampakkan gejala peradangan yang jelas. Kelenjar ambing membengkak, edematus berisi cairan eksudat disertai tanda-tanda peradangan lainnya, seperti ; suhu meningkat, kemerahan, rasa sakit dan penurunan fungsi. Akan tetapi seringkali sulit untuk mengetahui kapan terjadinya suatu peradangan, sehingga diagnosis terhadap mastitis sering dilakukan melalui pengujian pada produksi susunya, misalnya dengan melakukan penghitungan jumlah sel somatik (JSS) dalam susu (Bramley 1991).
Berdasarkan respon radang yang terjadi, mastitis dapat dibedakan menjadi : mastitis perakut, akut, sub akut, subklinis dan kronis (Hurley dan Morin 2000 ; Nelson dan Nickerson 1991). Mastitis subklinis merupakan mastitis yang paling umum terjadi, yaitu kira-kira 15 – 40 kali lebih banyak dibandingkan dengan mastitis klinis (Hurley dan Morin 2000). Sebagian besar kejadian mastitis di Indonesia merupakan mastitis subklinis (Wibawan et al. 1995). Pada mastitis subklinis terjadi peningkatan jumlah sel radang, adanya mikroorganisme patogen dan terjadi perubahan kimia susu (Sudarwanto 1993). Diagnosis mastitis subklinis dapat dilakukan dengan melakukan penghitungan jumlah sel somatik (JSS) dalam susu (Bramley 1991), tapi jumlah sel somatik pada susu dapat meningkat seiring dengan bertambahnya umur sapi (Duirs and Macmillan 1979).

Penyebab Mastitis Subklinis Staphylococcus aureus
S. aureus tersebar luas di dunia dan banyak menyebabkan kelainan-kelainan pada kulit dan membran mukosa hewan maupun manusia. Bakteri ini bersifat gram positif, fakultatif anaerob, katalase positif, koagulase positif dan menghasilkan asam laktat. Pada biakan agar padat membentuk koloni kuning keemasan (Todar 1998). S. aureus tidak membentuk spora, tidak ada flagela, tumbuh baik pada suhu 37° C dan mati apabila dipanaskan pada suhu 80° C selama setengah jam.
Berbagai komponen S. aureus yang berperan dalam mekanisme infeksi adalah : (1) Polisakarida dan protein yang merupakan substansi penting di dalam dinding sel, seperti protein adhesin hemaglutinin (Wahyuni 1998) dan glikoprotein fibronectin (Nelson et al. 1991). Protein permukaan ini berperan dalam proses kolonisasi bakteri pada jaringan inang; (2). Invasin yang berperan dalam penyebaran bakteri di dalam jaringan, misalnya leukocidin, kinase, hyaluronidase; (3). Kapsul dan protein A yang dapat menghambat fagositosis oleh leukosit polimorfonuklear ; (4). Substansi biokimia, seperti : carotenoid dan produk katalase, dapat membuat bakteri bertahan hidup dalam fagosit ; (5). Protein A, coagulase dan clumping factor untuk menghindarkan diri dari respon imun inang. S. aureus dengan coagulase negatif terbukti kurang virulen dibandingkan dengan yang mempunyai faktor coagulase (Haraldsson dan Jonsson 1984) ; dan (6). Toksin yang dapat melisis membran sel dan jaringan inang (Todar 1998).
S. aureus mempunyai arti penting sebagai penyebab mastitis subklinis karena bakteri ini dapat menyebar ke mana-mana dan dapat membentuk koloni dengan baik pada kulit dan puting ambing. Keberadaannya pada kulit merupakan suatu keuntungan bagi bakteri ini untuk terhindar dari sel fagosit, sehingga bakteri menjadi persisten (Todar 1997). S. aureus dapat dimusnahkan dari permukaan kulit ambing dengan terapi antibiotika, namun bakteri akan tetap tumbuh pada jaringan ikat yang lebih dalam, menyebabkan S. aureus cenderung menjadi resisten terhadap antibiotika (Hoblet dan Eastridge 1992 ; Arpin et al. 1996). Sifat resistensi ini juga ditentukan oleh gen resisten yang terbawa oleh plasmid (Woodford et al. 1998). Kegagalan pengobatan juga disebabkan karena kegagalan antibiotika mencapai jaringan yang terinfeksi atau bakteri penyebabnya (Godkin 1998). Bakteri umumnya bertahan pada jaringan dalam beberapa minggu atau bulan sebagai penyebab mastitis subklinis (Bramley 1991).
Selain sebagai penyebab mastitis klinis maupun subklinis, S. aureus dikenal pula sebagai bakteri komensal, yang dapat diisolasi dari sebagian besar permukaan tubuh. Bakteri ini bersifat “strain-host specific”, artinya ada kaitan antara biotipe dengan spesies inang (Hajek dan Marsalek 1971). S. aureus merupakan flora normal pada manusia, terutama ditemukan pada saluran pernapasan bagian atas, kulit dan mukosa. Pada babi sehat, S. aureus banyak ditemukan pada cairan bronchoalveolar (Hensel et al. 1994).
Kemampuan S. aureus menginvasi dan hidup dalam sel-sel endotel diyakini dapat menyebabkan infeksi endovascular yang bersifat persisten dengan menimbulkan kerusakan pada sel-sel endotel. Kerusakan sel-sel endotel ini diduga sebagai bagian dari proses apoptosis yang disebabkan oleh infeksi S. aureus (Menzies dan Kourteva 1998).

Histopatologi Mastitis
Secara histopatologi, pada mastitis subklinis dapat ditemukan adanya peradangan dan degenerasi pada parenkim (epitel) saluran-saluran air susu. Selain itu juga ditemukan adanya reruntuhan sel-sel somatik yang meningkat (Ressang 1984; Duval 1997), deskuamasi dan regresi epitel. Sel-sel radang (leukosit-leukosit berinti polimorf) banyak ditemukan di dalam lumen saluran air susu (Ressang 1984).
Penelitian pada mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. agalactiae menunjukkan bahwa patogenesis penyakit dimulai dengan menempelnya bakteri pada permukaan sel epitel, kemudian masuk ke dalam sel epitel alveol kelenjar susu menyebabkan degenerasi dan nekrosa. Nekrosa berlanjut dan menyebabkan atrofi alveol kelenjar susu disertai respon peradangan yang menyebabkan terjadi involusi kelenjar susu. Selanjutnya terjadi proses persembuhan berupa pembentukan jaringan ikat. Pada hari keempat setelah diinfeksi, sebagian jaringan ikat digantikan oleh jaringan lemak dan bakteri terperangkap di dalam kelenjar ambing (Estuningsih 2001).
 Jones (1998) mengemukakan bahwa guna mencegah infeksi baru oleh bakteri penyebab mastitis, maka perlu beberapa upaya, antara lain :
  • Meminimalisasi kondisi-kondisi yang mendukung penyebaran infeksi dari satu sapi ke sapi lain dan kondisi-kondisi yang memudahkan kontaminasi bakteri dan penetrasi bakteri ke saluran puting.
  • Air susu pancaran pertama saat pemerahan ditampung di strip cup dan diamati terhadap ada tidaknya mastitis. Pencelupan atau diping puting dalam biosid 3000 IU (3,3 mililiter/liter air). Penggunaan lap yang berbeda untuk setiap ekor sapi, dan pastikan lap tersebut telah dicuci dan didesinfektan sebelum digunakan (Sutarno, 2000). 
  • Pemberian nutrisi yang berkualitas, sehingga meningkatkan resistensi ternak terhadap infeksi bakteri penyebab mastitis. Suplementasi vitamin E, A dan β-karoten serta imbangan antara Co (Cobalt) dan Zn (Seng) perlu diupayakan untuk menekan kejadian mastitis.

No comments:

Post a Comment