Bakteri Pasteurella biasanya diikuti dengan hewan yang diserangnya misalnya pada sapi P. boviseptica, pada babi P. suiseptica, pada ayam P. aviseptica, pada kambing atau domba P. oviseptica dan sebagainya. Selanjutnya pada tahun 1939 dibedakan bakteri Pasteurella yang dapat menyebabkan hemolisa dan tidak, menjadi Pasteurella hemolytica dan Pasteurella multocida (P. septica). Telah lama diketahui bahwa bakteri Pasteurella dapat ditularkan dari satu hewan ke hewan lainnya. Berdasarkan kenyataannya bahwa bakteri Pasteurella menunjukan bentuk koloni dan sifat yang bermacam-macam, yaitu pertama berdasarkan mouse protection test dan yang kedua berdasarkan atas sifat-sifat antigen selubung bakteri (kapsul) dalam indirect Haemaglutination Test (HA). Bakteri P. multocida yang berbentuk coccobacillus, mempunyai ukuran yang sangat halus dan bersifat bipolar. Sifat bipolar ini lebih jelas terlihat pada bakteri yang diisolasi dari penderita dan diwarnai dengan cara giemsa. Bakteri yang bersifat gram negatif ini tidak membentuk spora bersifat non-motil dan berkapsul yang dapat hilang karena penyimpanan terlalu lama. Bentuk koloninya tidak selalu seragam, tergantung beberapa faktor, misalnya media yang digunakan, umur bakteri dalam penyimpanan, frekuensi pemindahan bakteri dan sebagainya. Koloni bakteri yang baru diisolasi dari penderita atau hewan percobaan biasanya bersifat Mucoid dan kelama-lamaan menjadi bentuk Smouth (halus) atau Rough (kasar). Koloni yang bersifat iridescent pada penglihatan pada permukaan bawah cawan Petri biasanya bersifat virulen. Bakteri P. multocida menimbulkan gas yang berbau.
2.2. Epidemiologi Penyakit SE
1.Kejadian di Indonesia
Penyakit SE ditemukan pertama kali di Indonesia oleh DRIESSEN pada tahun 1884 di daerah Balaraja, Tangerang, kemudian pada tahun berikutnya meluas ke timur sampai sungai Citarum dan ke barat sampai ujung Menteng, Bekasi. Penyakit SE pada kerbau dikenal dengan nama Rinderpest tipe busung. Penyakit tersebut sudah ditemukan pada daerah Majalengka (1897), Imogiri serta daerah diluar pulau Jawa seperti Tanah Datar (1884) dan Bengkulu (1889). Pada tahun 1891 penyebab dari penyakit tersebut dapat diisolasi oleh Van Ecke. Sejak akhir abad ke 19 penyakit telah meluas ke sebagian besar wilayah Indonesia. Selain kerbau dan sapi, SE juga dapat menyerang kuda, kambing, domba dan rusa.
2. Hewan Rentan
Telah lama diketahui bahwa kadang-kadang bakteri hanya bersifat saprofit pada hewan yang menjadi induk semang. Hewan-hewan tersebut akan menjadi carier penyakit dan mungkin akan menjadi sumber penularan bagi hewan rentan yang lain. Di negara lain hewan-hewan yang dapat terinfeksi adalah babi (48%), sapi (80%), tonsil anjing (10%), gusi anjing (90%) dan tenggorokan manusia (3%). Selain itu bakteri juga dapat diisolasi dari kelinci, burung dara, burung pelican, kuda, kambing, domba, rusa, tikus, kangguru, ayam, itik dan lain-lain. Berdasarkan perhitungan LD50, urutan derajat kerentanan hewan mulai dari yang paling rentan adalah kelinci, mencit, burung, perkutut, merpati dan marmot. Ayam dan itik bersifat resisten.
2.3. Pathogenesis
Penyakit SE ditemukan disebagian besar wilayah Indonesia, dan Negara negara lainnya, kecuali Australia, Oceania, Amerika Utara, Afrika Selatan dan Jepang. Kebanyakan wabah bersifat musiman, terutama pada musim hujan. Secara spasmodik penyakit juga ditemukan sepanjang tahun. Selain itu ditambah faktor predisposisi seperti kelelahan, kedinginan, pengangkutan, anemia dan sebagainya. Diduga sebagai pintu gerbang infeksi bakteri Pasteurella kedalam tubuh penderita adalah tenggorokan. Hewan sehat akan tertular oleh hewan sakit atau carier melalui kontak atau melalui makanan, minuman dan alat-alat tercemar. Ekskreta hewan penderita (saliva, kemih dan tinja) juga dapat mengandung bakteri Pasteurella. Bakteri yang jatuh di tanah, apabila keadaan serasi untuk pertumbuhan bakteri (lembab, hangat, teduh) akan tahan kurang dari satu minggu dan dapat menulari hewan-hewan yang digembalakan di tempat tersebut. Tanah tidak lagi dianggap sebagai reservoir permanen untuk bakteri Pasteurella, ada kemungkinan bahwa insekta dan lintah dapat bertindak sebagai vektor. Infeksi alami yang ringan akan mengakibatkan terbentuknya antibodi. Begitu pula dengan hewan-hewan yang sembuh dari penyakit SE. Menurut penelitian, jika setengah hewan dalam kelompok telah di vaksin, maka penyakit tidak timbul karena peluang untuk terjadinya kasus diperkecil dan kemungkinan terjadinya wabah dibatasi. Pada babi, SE banyak yang berbentuk sebagai gangguan pernafasan dengan gejala batuk yang lebih menonjol. Penularan melalui udara yang dibatukkan oleh penderita lebih mudah terjadi, apalagi kalau babi-babi tersebut makan dan minum dari tempat yang sama. Timbulnya SE pada babi sangat dipengaruhi oleh faktor predisposisi, seperti pada kerbau dan sapi ekskreta penderita juga dapat mengandung bakteri Pasteurella. Kontaminasi pada rumput, air, dll Di lapangan, kejadian penyakit SE biasanya dilaporkan sebagai terjadinya kematian hewan secara cepat. Dalam pengamatan, hewan biasanya mengalami peningkatan suhu tubuh, oedema submandibular (kadang menyebar ke daerah dada) dan gejala pernafasan dengan keluarnya ingus dari hidung. Dalam banyak kasus, hewan kemudian mengalami kelesuan atau lemah dan kematian. Lama penyakit lebih pendek pada kerbau dibandingkan pada sapi, kisaran waktunya mulai kurang dari 24 jam dalam kejadian perakut sampai 2-5 hari. Gejala timbul biasanya setelah masa inkubasi 2-5 hari. Gambaran klinis menunjukan 3 fase yaitu: fase pertama, hewan mengalami kenaikan suhu tubuh, anoreksia dan hipersalivasi; fase kedua, hewan mengalami gangguan pernafasan dengan hioersalivasi dan nasal discharge; dan fase ketiga, bakteri telah masuk ke dalam peredaran darah sehingga terjadi septicaemia. Pada kerbau yang diinfeksi secara buatan, kenaikan suhu hingga 43⁰C dapat teramati 4 jam sesudah infeksi setelah inokulasi, sedangkan pada sapi kenaikan suhu mencapai 40⁰C baru teramati setelah 12 dan 16 jam setelah iniokulasi. Dalam darah, bakterimia sudah terjadi 12 jam setelah inokulasi pada kerbau dan sapi. Jumlah bakteri dalam darah terus meningkat hingga saat kematian hewan.
2.4. Gejala Klinis
Penderita SE akan terlihat lesu, suhu tubuh naik dengan cepat, gemetar, mata sayu dan berair, selaput lendir dan mata hiperemi. Nafsu makan, memamak biak, gerakan rumen dan usus menurun sampai hilang disertai konstipasi. Mungkin pula gangguan pencernaan berupa kolik dan diare kadang-kadang disertai titik-titik darah. Sekali-kali ditemukan juga epistasis, hematuria dan urtikaria yang dapat berlanjut ke nekrose kulit.
Pada SE dikenal tiga bentuk yaitu, bentuk busung, pektoral dan intestinal.
a. Bentuk Busung
Pada SE dikenal tiga bentuk yaitu, bentuk busung, pektoral dan intestinal.
a. Bentuk Busung
Ditemukan busung pada bagian kepala, tenggorokan, leher bagian bawah, gelambir dan kadang-kadang pada kaki muka. Tidak jarang pula terjadi pada bagian alat kelamin dan anus. Derajat kematian bentuk ini tinggi sampai mencapai 90% dan berlangsung cepat (hanya 3 hari, kadang-kadang sampai 1 minggu). Sebelum mati, terutama pada kerbau terjadi gangguan pernafasan akan nampak sebagai sesak nafas (dyspnoe) dan suara ngorok merintih dan gigi gemeretak.
b. Bentuk Pektoral
Ditandai dengan bronchopnemoni dan dimulai dengan batuk kering dan nyeri. Kemudian terdapatnya eksudat dari hidung dan terapat pernafasan capat dan basah. Proses biasanya lama 1-3 minggu. Penyakit yang bersifat kronis ditandai dengan hewan menjadi kurus, batuk, nafas dan amakan terganggu, terus mengeluarkan air mata, suhu tidak berubah, terjadi diare yang bercampur darah, kerusakan pada paru-paru, bronchi danpleuranya.
c. Bentuk Intestinal
c. Bentuk Intestinal
Bentuk intestinal merupakan gabungan dari bentuk busung dan bentuk pektoral.
2.5. Gambaran Patologi
2.5.1. Patologi Anatomi
a. Bentuk busung
Telihat busung gelatin dan disertai pendarahan di bawah kulit kepala, leher, dada dan sekali-kali meluas sampai bagian belakang perut. Cairan busung bersifat bening, putih kekuningan atau kadang-kadang kemerahan. Sering kali infiltrasi cairan serum terlihat sampai lapisan dalam otot. Busung gelatin juga ditemukan disekitar pharynx, epiglotis dan pita suara. Lidah sering sekali membengkak dan berwarna coklat kemerahan atau kebiruan dan kadang-kadang menjulur keluar. Selaput lendir saluran pernafasan umumnya membengkak dan kadang-kadang diseratai selaput fibrin. Kelenjar limfa retropharyngeal dan cervical membengkak. Rongga perut sering berisi cairan berwarna
kekuningan sampai kemerahan. Tanda-tanda peradangan akut hemoragik bias ditemukan di abomasum, usus halus dan colon. Isi rumen biasanya kering sedangkan isi abomasum seperti bubur. Isi usus cair berwarna kelabu kekuningan atau kemerahan tercampur darah.
Seringkali terdapat gastroenteritis yang bersifat hemoragik. Limpa jarang mengalami perubahan dan proses degenerasi biasanya terjadi pada organ parenkim (jantung, hati dan ginjal).
b. Bentuk pektoral
Seringkali terdapat gastroenteritis yang bersifat hemoragik. Limpa jarang mengalami perubahan dan proses degenerasi biasanya terjadi pada organ parenkim (jantung, hati dan ginjal).
b. Bentuk pektoral
Terlihat pembendungan kapiler dan pendarahan dibawah kulit dan di bawah selaput lendir. Pada bagian pleura terlihat peradangan dengan pandarahan titik dan selaput fibrin tampak pada bagian permukaan alat-alat visceral dan rongga dada. Terlihat gejala busung berbentuk hidrothoraks, hidroperikard. Paru-paru berbentuk bronchopnemoni berfibrin atau fibronekrotik. Bagian paru-paru mengalami hepatisasi dan kosistensi agak rapuh. Hepatisasi umumnya terdapat secara seragam atau satu stadium, berupa hepatisasi merah dalam keadaan akut, hepatisasi kelabu atau kuning dalam stadium yang lebih lanjut. Bidang sayatan paru beraneka warna karena adanya pneumonia berfibrin pada bagian-bagian nekrotik, sekat interlobular berbusung dan bagian-bagian yang normal. Bagian paru-paru yang tidak beradang tampak hiperemik dan berbusung. Kelenjar limfa peribronchial membengkak. Kadang-kadang ada tanda enteritis akut sedangkan limfa umumnya normal.
c. Bentuk Intestinal
Bentuk campuran dari kedua bentuk diatas dan ditandai gastroenteritis kataralis hinggahemoragik.
2.5.2. Histopatologi
2.5.2. Histopatologi
Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan mikroskopis berupa hemoragi pada adventisia dan submukosa peritrachea, general pnemoni intertisial dengan hiperemi, oedema dan infiltrasi limfosit dan makrofag. Ditemukannya mikro koloni bakteri Pasteurella pada pembuluh limfe. Di hati terdapat cloudy swelling dan degenerasi lemak. Pada ginjal ditemukannya pignosis inti dari sel epitel tubular ginjal dan pada jantung terdapat hiperemia subepicardium dan hemoragi subendocardium.
2.6. Diagnosa
1.Pengiriman bahan
Sediaan ulas darah jatung yang difiksasi metil alkoholv
Cairan oedema dan darah dari jantung yang dimasukan kedalam pipet pasteurv
v Potongan organ tubuh seperti jantung, limpa, ginjal, kelenjar limfe dan susmsum tulang. Organ dimasukan ke dalam larutan gliserin NaCl 50%. Sumsum tulang dianggap organ yang paling baik untuk dikirimkan.
Cairan oedema dan darah dari jantung yang dimasukan kedalam pipet pasteurv
v Potongan organ tubuh seperti jantung, limpa, ginjal, kelenjar limfe dan susmsum tulang. Organ dimasukan ke dalam larutan gliserin NaCl 50%. Sumsum tulang dianggap organ yang paling baik untuk dikirimkan.
2. Pemeriksaan di Laboratorium
Preparat ulas darah diwarnai dengan metilen blue atau giemsa sehingga terlihat bakteri bipolar. Dengan pewarnaan gram terlihat bentuk gram batang negatif.
Bahan yang diperoleh dari hewan seperti darah, cairan oedema atau suspensi organ disuntikkan ke hewan percobaan. Isolasi agen penyebab dapat menggunakan agar
Bahan yang diperoleh dari hewan seperti darah, cairan oedema atau suspensi organ disuntikkan ke hewan percobaan. Isolasi agen penyebab dapat menggunakan agar
triptosa, agar darah atau agar serum darah.
3. Percobaan Biologi
Hewan percobaan yang peka yaitu kelinci, perkutut dan mencit yang disuntik secara subkutan (SC) atau intra muscular (IM). Pada kelinci dapat dilakukan dengan menggoreskan bahan tersangka pada kulit telinga, terutama jika bahan yang dikirim telah busuk. Hewan yang disuntik dengan bakteri ini akan memperlihatkan gejala perdarahan pada pembuluh darah paru-paru dan jantung.
2.7. Deferensial Diagnosis
1) Leptospirosis akut
2) Anthraks
3) Penyakit Jembrana stadium awal
4) Rinderpest
5) Black Leg
6) Contangiosa Bovine Pleuro Pneumonia (CBPP)
7) Abses Abdominal
8) Abses Otak
9) Selulitis
10) Infeksi Influensa Haemophylus
11) Sepsis Intra-abdominal
12) Abses Hati
13) Abses Paru-paru
14) Meningitis
15) Abses Perinephric
16) Pneumonia karena Bakterial
17) Pyelonephritis Akut
2.8. Pencegahan, Pengendalian dan Pengobatan
1. Pencegahan terhadap penyakit ngorok dilaksanakan tindakan sebagai berikut:
a) Untuk daerah bebas penyakit ngorok pencegahan didasarkan pada peraturan yang ketat terhadap pemasukan hewan ke daerah tertentu.
b) Untuk daerah tertular, hewan yang sehat divaksin setahun sekali atau sesuai vaksin yang di gunakan. Vaksin dilakukan sewaktu sebelum terjadi penyakit.
c) Pada hewan tersangka sakit, dapat dipilih salah satu dari perlakuan sebagai berikut: penyuntikan antibiotika, anti serum, penyuntikan kemoterapeutika atau penyuntikan kombinasi antiserum dan antibiotika.
a) Untuk daerah bebas penyakit ngorok pencegahan didasarkan pada peraturan yang ketat terhadap pemasukan hewan ke daerah tertentu.
b) Untuk daerah tertular, hewan yang sehat divaksin setahun sekali atau sesuai vaksin yang di gunakan. Vaksin dilakukan sewaktu sebelum terjadi penyakit.
c) Pada hewan tersangka sakit, dapat dipilih salah satu dari perlakuan sebagai berikut: penyuntikan antibiotika, anti serum, penyuntikan kemoterapeutika atau penyuntikan kombinasi antiserum dan antibiotika.
2. Penanggulangan dan pemberantasan penyakit ngorok harus mengikuti ketentuan sebagai berikut :
a) Dalam keadaan penyakit sporadic tindakan ditekankan pada pengasingan hewan sakit dan tersangka sakit disertai pengobatan.
b) Dalam keadaan penyakit enzootik tindakan pemberantasan ditekankan pada penentuan batas-batas daerah tertular dengan daerah belum tertular yang diikuti tindakan sebagai berikut:
Disekeliling batas daerah tertular dilakukan vaksinasi. Didalam daerah tertular hewan sakit dan tersangka sakit disuntikan antibiotika atau antigen serum dengan masing-masing dosis pengobatan dan dosis pencegahan.
3. Ketentuan-ketentuan dalam usaha penanggulangan dan pemberantasan penyakit ngorok adalah sebagai berikut:
a) Hewan yang menderita penyakit ngorok harus diasingkan sedemikian rupa sehingga tidak kontak dengan hewan lain. Pengasingan sedapat mungkin dilakukan setempat dan disekatnya disediakan lubang 2-2.5 meter untuk pembuangan limbah dari kandang. Jika lubang sudah berisi sampai 60cm dari permukaan tanah maka lubang tersebut harus ditutup dengan tanah.
b) Dipintu-pintu masuk halaman atau daerah tempat pengasingan hewan sakit atau daerah yang terjangkit harus dituliskan pengumuman bahwa sedang terjangkit penyakit hewan menular.
c) Hewan yang sakit dilarang keluar dari daerahnya, sedangkan hewan yang dari luar dilarang masuk.
c) Hewan yang sakit dilarang keluar dari daerahnya, sedangkan hewan yang dari luar dilarang masuk.
d) Jika terdapat hewan yang mati disebabkan penyakit ngorok harus segera musnahkan dengan cara dibakar atau dikubur sekurang-kurangnya 2 meter.
e) Setelah hewan yang sakit mati atau telah sembuh, kandang dan barang-barang yang pernah bersentuhan dengan hewan yang teridentifikasi harus didesinfeksi. Kandang-kandang yang terbuat dari bambu, atau atap alang-alang dan semua bahan yang tidak dapat didensifeksi harus di bakar.
f) Jika seluruh daerah terkena, harus dilakukan penutupan dari jalur lalu lintas hewan.
g) Penyakit dianggap lenyap dari suatu daerah setelah lewat waktu 14 hari sejak mati atau sembuhnya hewan yang sakit terakhir.
g) Penyakit dianggap lenyap dari suatu daerah setelah lewat waktu 14 hari sejak mati atau sembuhnya hewan yang sakit terakhir.
4. Hewan yang menderita penyakit ngorok dapat dipotong dengan ketentuan sebagai berikut:
a) Hewan sakit dapat dipotong dan diambil dagingnya sepanjang keadaan fisik hewan menurut dokter hewan masih layak untuk dikonsumsi.
a) Hewan sakit dapat dipotong dan diambil dagingnya sepanjang keadaan fisik hewan menurut dokter hewan masih layak untuk dikonsumsi.
b) Daging yang berasal dari hewan yang sakit dapat disebarkan dan dapat dikonsumsi setelah sekurang-kurangnya 10 jam dari waktu pemotongan.
c) Kulit hewan yang berasal dari hewan sakit dan suspect harus disimpan 24 jam sebelum diedarkan.
d) Semua limbah asal hewan sakit dan sisa pemotongan harus segera dibakar atau dikubur.
No comments:
Post a Comment